“Apa kabar? Bagaimana kabarmu?” Adalah jenis kalimat yang lazim atau terbiasa kita dengar atau ucapkan. Namun, sejak beberapa tahun ini banyak kawan yang tidak pernah lagi menyapa saya dengan ucapan itu. Saya yakin itu bukan karena mereka sombong atau sedang bermusuhan dengan saya. Mungkin, karena mereka sudah tahu jawaban saya seperti apa. Sehingga merasa tidak perlu menanyakan lagi.
“Kabar saya selalu baik, bahkan sangat baik,” Itulah jawaban yang selalu meluncur dari mulut saya. Jawaban yang mungkin sudah bosan di dengar kawan-kawan saya *hehehee... Tapi, apakah saya benar-benar baik sebaik jawaban saya? Entahlah, tapi saya selalu berusaha menilainya begitu. Apapun keadaannya, bahkan saat sedang berjuang melawan flu dan batuk berat seperti yang saya alami sekarang atau sedang bokek parah pun, saya tetap menganggapnya baik.
Kenapa saya melakukan itu? Jawabannya hanya satu. Karena saya ingin menikmati setiap moment dalam hidup. Apakah dengan cara seperti ini saya bisa bahagia? Jujur saja, saya selalu kesulitan mendefinisikan bahagia itu seperti apa, karena saya yakin tak cukup satu teori saja yang mampu menjabarkannya, terlebih cakupan wilayahnya cukup luas. Namun, dengan sikap seperti ini, dengan selalu menganggap keadaan saya senantiasa baik, saya merasa lebih ayem, senang dan tak mudah terjebak dalam jurang keluhan yang berlebihan. Dan perasaan seperti inilah yang saya anggap sebagai serpihan kebahagiaan.
Kesadaran untuk senantiasa menikmati setiap moment kehidupan ini saya adopsi dari seseorang yang hidupnya bisa dibilang tidak lebih baik dari saya. Tepatnya nenek saya. Beliau selalu menganggap keadaannya begitu baik. Padahal, sejak beberapa tahun yang lalu beliau menderita lupus. Beliau pun diharuskan rutin menenggak berbagai macam obat-obatan setiap harinya dan rutin konseling ke dokter spesialis seumur hidupnya. Kematian mendadak seolah mengancam beliau setiap saat. Sekali saja lengah pasti fatal akibatnya. Namun beliau tak kenal galau.
Satu kali pun, saya tak pernah mendengar keluhan dari beliau. Yang saya temui justru sebaliknya, wajahnya berpendar cahaya bahagia. Seakan beliau memang benar-benar bahagia dan tak terjadi apa-apa, beliau bisa berdamai dengan penyakit yang mengancam hidupnya, dan keuntungan lainnya, beliau bersahabat dengan banyak dokter. Dan yang lebih amazing adalah beliau mengatakan bahwa keadaan beliau sangat baik.
Tak ada raut wajah cemas dari cara beliau memandang, melihat dan berbicara. Beliau bahkan bersyukur menerima apa yang diberikan Yang Maha Kuasa terhadap beliau. Lalu pertanyaannya, apa yang membuat beliau bersyukur? Beliau mengaku bisa lebih mengenal kebesaran Tuhan dan berhasil membuka pintu kebijaksanaan dari apa yang beliau alami sekarang (penyakit yang beliau derita). Pintu yang sering tak terlihat saat kita dalam keadaan biasa-biasa saja. Hasilnya, beliau bisa melepas semua beban, mengusir rasa sakit menjadi gembira, dan meleburkan keluhan terhadap rasa syukur.
Apa yang beliau alami benar-benar mengubah warna batin saya. Beliau mengajarkan dasar-dasar pelajaran menata batin dan beliau juga telah menularkan resep bahagianya kepada saya.
Setelah merenungi apa yang saya dapatkan, terkadang saya malu dengan diri saya sendiri. Dulu, saya sering mengumbar keluhan dan terlalu berlebihan menyikapi hidup yang saya jalani. Mengapa berlebihan? Karena saya terlalu menggatungkan kebahagiaan di pengharapan masa depan. Saya terlalu sering menggunakan kata “jika dab bila”.
Jika saya kaya, saya akan bahagia. Bila menjadi pengusaha hebat saya akan bahagia, dan seterusnya. Bisa jadi perasaan seperti itu juga anda alami. Jika naik pangkat, jika gaji naik, jika punya anak, jika hutang lunas, bila kaya atau bahkan jika isteri atau pacar tidak gendut dan cemburuan, saya akan bahagia.
Kata “jika dan bila” memang ibarat cantolan pengharapan yang kita letakkan di masa depan. Padahal kita sepakat bahwa masa depan itu penuh ketidak pastian (kecuali kematian), yang berarti juga kita belum tentu bahagia. Apalagi banyak sekali dalam hidup ini yang tidak sejalan dengan harapan kita.
Belajar dari nenek saya tadi, katakan saja beliau menggantungkan kebahagiaan pada kesembuhan, maka bisa dipastikan mereka tak akan pernah bahagia. Karena penyakit lupus yang beliau derita amat sulit disembuhkan. Karena itulah beliau memilih pilihan yang bijak. Beliau tidak menunggu sehat atau baik-baik saja untuk bahagia, beliau justru menjemput kebahagiaan itu dengan keterbasan yang beliau miliki.
Resep bahagia yang saya pelajari ini sangat berhubungan dengan konsep bersyukur. Menerima keadaan dan menilainya sebagai hal yang baik. Namun, konsep ini tidak boleh bertentangan dengan konsep motivasi. Saya berusaha tidak terjebak pada penggunaan konsep bersyukur untuk membenarkan kelemahan serta kesalahan saya. fighting spirit saya harus tetap menyala serta terus belajar untuk mencapai keadaan yang lebih baik.
Setelah saya mengadopsi resep bahagia ini, saya lebih bisa menerima keadaan. Saya pun merasa lebih tenang dan tidak terlalu berlebihan lagi dalam menyikapi beratnya hidup ini. Apakah saya tidak pernah mengeluh? Masih sering juga sih *hehehee... Tapi, paling tidak, dari resep bahagia dan konsep bersyukur diatas keluhan yang hampir keluar bisa segera saya kubur, dengan harapan bisa menjadi pupuk ketenangan batin. Bagaimana dengan masalah? Masalah itu akan tetap ada, dan percaya saja semua bisa terselesaikan.
“Aaahh... Itukan cuma teori, praktiknya tetap saja sulit!!!” Jika pemikiran seperti itu tiba-tiba muncul ketika anda membaca tulisan ini, berarti anda telah melewatkan salah satu moment bahagia.
Kamis, 19 Juli 2012
Komentari..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar