Sabtu, 26 Januari 2013

Mawarku

Apa aku kurang sabar
Bersandar pada sabar yang hampir pudar
Menunggu hati terbakar sabar
Sabar menunggu keresahan menjalar

Aku menemukan mawar di antara debu siang jalanan
Ku petik karena harumnya menenangkan
Keanggunan yang terpancar
Pesonamu penuh keindahan

Kau tumbuh di dalam
Bermekaran rindu di hati yang terdalam
Aku mencium harum yang kau sebarkan
Yang ku damba saat kita bertatap senyum memandang

Mawarku
Taman hatiku menunggu kau singgahi dengan cintamu


Kata Yang Tersimpan

Lalu senyummu datang
Dan semua terlihat penuh keindahan

Kau sejuk memeluk terik mentari siang
Cara berjalanmu anggun ku amati dari belakang
Tak mampu memandang
Parasmu berbinar cahaya terang

Aku menyimpan kata sayang pada perjumpaan pertama
Ku bisikkan rindu di setiap malam meski kau tak pernah menyadarinya
Lewat doa dalam rindu
Semoga kau memang benar untukku


Cawan Rindu Saat Hujan

Kopi dan hujan adalah kombinasi yang pas
Meski berakibat ingatan yang sama sekali tak jelas
Awan melepas rintikannya deras
Bagai peluru dari magasin yang meluncur lepas

Aku sedang mengecupnya
Cawan berisi rindu dari hati yang gundah
Aku masih menikmati tarian hujan
Biarlah menjadi genangan
Rinduku tak pernah kering mengingatmu dalam ingatan


Bahagialah Dengan Sederhana

Kita mesti bersukur
Bukan mengeluh tersungkur
nikmatNya tak pernah terukur
sedang kita berebut dunia tak pernah akur

versi bahagia hidup adalah berbagi
bagi sebagian lainnya hidup untuk memuaskan diri sendiri

sebenarnya kita waras
tapi selalu ada keinginan yang tak terbatas
lalu kenapa sabar bergaris batas?
Kita waras hingga menjadi buas

Lekas kita berdoa
Kepada Yang Maha Esa
Hidup bukan kita yang punya
Lembaran hidup miliknya
Kita mengisi dengan kata-kata yang pas di dalamnya

Bahagialah dengan sederhana
Sederhanakanlah bahagia kita

Jumat, 25 Januari 2013

Mencintai Dalam Diam



Begini rasanya mencintai diam-diam
saban hari dalam lamunan tenggelam
menahan gelisahnya merindukan

album foto menjadi buku favorit
yang merindukan hanya mampu tersenyum pahit
apalagi saat hujan seperti ini
rindu semakin betah mengusik hati

ini rasanya mencintai dalam diam
merasakan sepanjang waktu resah menikam

Kamis, 24 Januari 2013

#RIP Miroslav Janu

Oleh: Sunavip Ra Indrata

Kita tetap menjadi Underdog. Tidak apa-apa. Kita tetap FIGHT meski kita tidak punya pemain pengganti. Soal menang atau kalah itu urusan nanti. Terpenting tampil ALL OUT. "its okey. We must FIGHT."

Seorang wartawan jepang bertanya ke Miro, apa dalam sesi latihan boleh diliput wartawan?? Coach hanya tersenyum "kamu lihat sekarang atau besok sama saja. Pemainku cuma itu. Tapi kami datang dengan jiwa Singa." katanya bangga.

Wartawan itu melongo "JIWA SINGA?" dia bertanya 

"Ya jiwa singa yang pantang menyerah sekalipun harus berhadapan lawan yang tangguh ."Kami datang bukan sebagai PECUNDANG." Jawab Coach Miroslav Janu mantap


Ketika di ruang ganti , beberapa saat sebelum kick off, Miro juga menyampaikan hal itu kepada pemain. Pemain Arema, pantang menyerah. Apapun keadaannya kalah menang, bukan tujuan akhir. Tapi bagaimana menghadapi sebuah pertandingan dengan harga diri!!

Benar juga sekalipun kala itu Arema harus kalah 0-3. Tapi standing ovation bergemuruh ketika skuad Arema meninggalkan lapangan. Bahkan Takashi Selizuka pelatih Kawasaki Frontale hanya bisa geleng-geleng kepala melihat penampilan Arema.

"Timmu sangat bagus. Aku tidak mengira Arema bisa tampil semangat. Padahal mereka tidak punya pemain (pengganti) dan beberapa pemain aku lihat dalam kondisi cedera. Aku Hormat pada AREMA," kata dia. Perlu di ketahui, saat Arema Indonesia vs Kawasaki Frontale, Arema hanya membawa 12 pemain!

Pelatih yang tidak bisa diajak kompromi tapi memiliki jiwa provokator ulung. Pelatih yang punya pendirian tegas tapi memiliki jiwa yang sangat sensitif. Lihat saja saat Arema harus kehilangan Emanuel Serge di pramusim. Yakni ketika kaki Serge dipatahkan Bhio Pauline defender Persipura di ajang Yusuf Cup XII di Makassar.

Dia menangis di bench pemain. Bahkan dia tak mampu melihat Serge yang tengah ditandu untuk dilarikan kerumah sakit. Dia meminta Tony HO mengawal serge. Kemudian saat Serge kembali ke hotel dua hari berselang, dia orang pertama memeluk pemain.

Sebelumnya, Miroslav Janu meninggal dunia, Kamis (24/01) di Rumah Sakit Islam Jemursari, Surabaya. Meninggalnya Miro disebabkan oleh serangan jantung. Miro sempat direncanakan menjalani operasi jantung. Namun, takdir berkata lain.

"Indonesia sangat kehilangan beliau. Dia pelatih yang bisa memberikan inspirasi untuk sepakbola Indonesia," Media Officer Arema, Sudarmaji.

"Miro sangat luar biasa menanamkan filosofi sepakbola Indonesia dengan mengangkat potensi anak-anak muda. Arema juga merasakan hal ini. Terakhir, beliau membawa Arema menjadi runner-up juara ISL."

RIP# coach MIROSLAV JANU

- salam 1 jiwa -

Saat Cintamu Kembali

Sayangnya melupakan tak semudah mengucapkan
Aku memang berhenti
Tak lagi memasukkan namamu di percakapan setiap hari
Tapi diam, dalam hati
Saat cintamu kembali selalu ku amini

Buah Hatimu

Kenapa harus dengan keras
Kenapa tidak mencoba dengan pelukan ikhlas
Anak dari rahimmu tentu meniru sang Ibu
Lalu kau menghakimi dengan egomu
Aku tak mengusik
Aku juga pernah terdidik
Namun dengan nasehat lembut dan penuh kasih seorang anak bisa tampil baik
Di butuhkan waktu
Kedewasaan yang perlu
Buah hatimu sedang mencoba hal baru
Makianmu tak akan mengubah labil dari naluri yang menggebu
Aku seorang anak
Tulisanku kadang terbaca tamak
Aku buah hati
Mencoba bicara dari hati

Ruang Bahagia

Ini surga
Ruang damai bernama keluarga
Tawa penghangat jiwa
Ayah sang pemecah suasana
Ibu yang menyahut dengan celoteh khasnya
Atau kedua bidadari kecilku yang usil dengan tingkahnya
Kita kompak, duduk berlima dengan tawa terbahak
Di ruang ini kebersamaan kita menanggalkan sesak
Sedang sepi mulai cemburu
Waktu membawanya berlalu

Alam Murka

Alam murka
Rumah kami menjadi kolam
Bukannya melihat ikan berenang
Melainkan lautan manusia yang terapung dalam genangan
Alam seperti marah
Tak peduli mewah
Air menerjang tanpa arah
menenggelamkan rumah-rumah
Penuh amarah
Alam adalah penguasa
Alam yang tak pernah di buat bahagia
Mereka kejam menghukum manusia

Cerita Ketegaran

Sekarang,
kami hanya mampu mengenang
Dengan mata berlinang
Bersama penyesalan yang datang
Tentangmu yang masih utuh terekam dalam ingatan
Meski ragamu t’lah tenang terlelap panjang
Kau hadirkan kisah tentang ketegaran
Kekuatan, kegigihan menyelipkan tawa dalam hidup pesakitan
Kami ikhlaskan
Tangisan tak akan membuka mata yang abadi terpejam
Tapi tentangmu selalu bernafas dalam hati dan ingatan
Kami masih bersamamu
Meski tak bertatap senyum denganmu
Aku menggenggam erat jemarimu
Dengan doa-doa yang ku panjatkan untukmu

Sabtu, 19 Januari 2013

Aku Menunggu

Aku menunggumu
di tempat biasa
di tempat ku mengadu tentang rindu

aku menunggu
saat kau datang dengan senyum termanismu
atau saat kau menawarkan cintamu
menanggalkan sepi, mengobati rindu

sabtu siang
saat gerimis tiba-tiba saja datang

untuk AP

Kembali padaMu

Di hadapanku, di sekeliling suara yang meraung memohon ampunanMu. Kamilah setitik debu yang memohon tak Kau tiup, kami ingin terus hidup, meski sering kami mengatakan tak sanggup karena tak pernah merasa cukup. Kami lukisan hina, ukiran penghuni neraka, seringkali menyekutukanMu, lupa pada siapa kami mengadu, lupa pada Engkau Yang Maha Tahu. Hening hitam dalam balutan malam, kami serahkan yang tak bisa kami pertanggung jawabkan, yang tak pernah bersukur pada apa yang telah Kau anugerahkan. Sepi milikmu, juga raga dan nyawa yang Kau himpun di setiap jengkal nafasku.

Menghadap Sang Penyayang

Untuk nenek yang tak pernah lelah berjuang

kini
kau terpejam dengan tenang
sedang kami kian sibuk mengusap deras air mata berlinang
ragamu menjadi tanah
Sang Pencipta memanggilmu dengan ramah
kau telah selesai menjalankan tugasmu di dunia penuh nanah

cerita tentangmu akan selalu ku simpan
meski hanya tinggal namamu yang terukir di batu nisan

selamat jalan
kini kau dalam pelukan Sang Maha Penyayang
hingga kelak kita akan bertemu di surgaNya yang kekal

Kamis, 17 Januari 2013

Puisi Chairil Anwar - Aku Ini Binatang Jalang


Data buku kumpulan puisi

Judul : Aku ini Binatang Jalang
Penulis : Chairil Anwar
Cetakan : VI, Oktober 1993 (cetakan I, Maret 1986)
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : xiv + 111 halaman (82 puisi & surat-surat)
ISBN : GM 201 86.052
Editor : Pamusuk Eneste
Kata Penutup : Sapardi Djoko Damono


Beberapa pilihan puisi Chairil Anwar:


Tak Sepadan

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka

Februari 1943


Penerimaan

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi

Maret 1943


Rumahku

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu


27 april 1943


Sajak Putih

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

1944


Lagu Siul

Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! Ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu saja

25 November 1945


Catetan Th. 1946

Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut

Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.

Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu;
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat.
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!

1946


Malam di Pegunungan

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947


Tuti Artic

Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.

Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
-- ketika kita bersepeda kuantar kau pulang --
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.

Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.

Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi... hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.

1947


Derai-derai Cemara

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949


Tentang Chairil Anwar:
Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Berpendidikan MULO (tidak tamat). Pernah menjadi redaktur “Gelanggang” (ruang kebudayaan Siasat, 1948-1949) dan redaktur Gema Suasana (1949). Kumpulan sajaknya, Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, 1950). Chairil Anwar dianggap pelopor angkatan 45. Ia meninggal di Jakarta, 28 april 1949. Hari kematiannya diperingati sebagai Hari Sastra di Indonesia.

sumber:

Puisi Sapardi Djoko Damono - dukaMu Abadi


Data Kumpulan Puisi

Judul : dukaMu Abadi, Sajak-sajak 1967 - 1968
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Cetakan : II, 1975 (Cet. I, Bandung, 1969)
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal : 52 halaman (42 puisi)
Gambar jilid : Popo Iskandar

Beberapa pilihan puisi Sapardi Djoko Damono dalam dukaMu Abadi:

Prologue

masih terdengar sampai di sini
dukaMu abadi. Malam pun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar

kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis menyekap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini

kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga


Kepada Istriku

pandanglah yang masih sempat ada
pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana
sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara
terpantul di dinding-dinding gua

pandang dengan cinta. Meski segala pun sepi tandanya
waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia
langit mengekalkan warna birunya
bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata



Di Stasion

pilar-pilar besi kekal menanti
di sebelahnya: kita yang mempercayai hati
seakan putih semata, senantiasa
seakan detik lupa meloncat tiba-tiba

sepi pun lengkap ketika kereta tiba
sebelum siap kita menerima
hari di mana
hari tak ada ketika kita menyusun kata-kata


Hari pun Tiba

hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa
kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka
kau pun menyapa: ke mana kita
tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya

tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata
tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema
sewaktu hari pun merapat
jarum jam hibuk membilang saat-saat terlambat


Jarak

dan Adam turun ke hutan-hutan
mengabur dalam dongengan
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit: kosong-sepi ...


Kita Saksikan

kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu itu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya

di antara hari buruk dan dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia


Sajak Putih

beribu saat dalam kenangan
surut perlahan
kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh

kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
sewaktu bayang-bayang kita memanjang
mengabur batas ruang

kita pun bisu tersekat dalam pesona
sewaktu ia pun memanggil-manggil
sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca


Dua Sajak di Bawah Satu Nama

I
darah tercecer di ladang itu. Siapa pula
binatang korban kali ini, saudara?
Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita
semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana

awan-awan kecil mengenalnya kembali, serunya:
telah terbantai Abel, darahnya merintih kepada Bapa
(aku pada pihakmu, saudara, pandang ke muka
masih tajam bau darah itu. Kita ke dunia)

II
kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah
tengah hari kita bertemu kembali; sehabis
kubunuh anak itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri
bertahan menghadapi Matahari

dan Kau pun di sini. Pandanglah dua belah tanganku
berlumur darah saudaraku sendiri
pohon-pohon masih tegak, mereka pasti mengerti
dendam manusia yang setia tetapi tersisih ke tepi

benar. Telah kubunuh Abel, kepada siapa
tertumpu sakit hati alam, dendam pertama kemanusiaan
awan-awan di langit kan tetap berarak, angin senantiasa
menggugurkan daunan; segala atas namamu: Kesunyian


Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita

kupandang kelam yang merapat ke sisi kita
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut seketika) Barangkali menjemputku
barangkali berkabar penghujan itu

kita terdiam saja di pintu. Menunggu
atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu
kenalkah ia padamu, desakmu (Kemudian sepi
terbata-bata menghardik berulang kali)

bayang-bayang pun hampir sampai di sini. Jangan
ucapkan selamat malam; undurlah perlahan
(pastilah sudah gugur hujan
di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku

kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku:
bunuhlah ia, suamiku (Kutatap kelam itu
bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku
lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)


Gerimis Jatuh
kepada: arifin c. noer

gerimis jatuh kaudengar suara di pintu
bayang-bayang angin berdiri di depanmu
tak usah kauucapkan apa-apa; seribu kata
menjelma malam, tak ada yang di sana

tak usah; kata membeku, detik
meruncing di ujung Sepi itu
menggelincir jatuh
waktu kaututup pintu. Belum teduh dukamu


Lanskap

sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua
waktu hari hampir lengkap, menunggu senja
putih, kita pun putih memandangnya setia
sampai habis semua senja


Tentang Sapardi Djoko Damono:
Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Lulus fakultas Sastra UGM tahun 1964. Semasa mahasiswa telah pula sibuk dengan kegiatan seni: mengasuh acara sastra RRI Yogyakarta, menyelenggarakan diskusi dan lomba kesenian, menerjemahkan, main dan menyutradarai sandiwara, dll. Aktivitasnya kemudian menjadi tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi, hingga guru besar. (Tertulis di biodata al. begini: DukaMu Abadi pertama kali diterbitkan tahun 1969 oleh pelukis Jeihan. Dua buku Sapardi yang lain yang sudah terbit adalah Mata Pisau dan Akuarium, keduanya terbit tahun 1974). Saat ini, kumpulan puisi beliau tentu telah bertambah.

Catatan Lain:
DukaMu Abadi, yang dipersembahkan: "kepadamu, Mu" itu terbagi atas dua bagian, yaitu berdasarkan angka tahun: 1967 (24 puisi) dan 1968 (18 puisi). Tak ada kata pengantar. Puisi-puisi yang ada dalam kumpulan ini, yang pernah saya baca semasa sekolah antara lain: Sajak Putih, Sonet: X, dan bagian II dari puisi Dua Sajak di Bawah Satu Nama.

sumber:

Puisi Chairil Anwar - Deru Campur Debu


Judul : Deru Campur Debu
Penulis : Chairil Anwar
Cetakan : III, 1993
Penerbit : PT. Dian Rakyat, Jakarta
Tebal : 47 halaman (28 puisi)
ISBN : 979-523-042-5
Ilustrasi isi : Oesman Effendi

Beberapa pilihan puisi Chairil Anwar dalam Deru Campur Debu:

Aku

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan akan akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi



Senja di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ayati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.


Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.


Kawanku dan Aku

Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan

Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat

Siapa berkata-kata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga

Dia bertanya jam berapa?

Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti


Kepada Kawan

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!


Doa
kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling


Kepada Peminta-minta

Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku

Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku


Cerita Buat Dien Tamaela

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu

Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut

Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau...

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu


Sebuah Kamar

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
d luar hitungan: Kamar begini
3 x 4, terlalu sempit buat meniup nyawa!


Hampa
Kepada Sri

Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai di puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencengkung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

Sketsa/lukisan Chairil Anwar


Tentang Chairil Anwar:
Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Berpendidikan MULO (tidak tamat). Pernah menjadi redaktur “Gelanggang” (ruang kebudayaan Siasat, 1948-1949) dan redaktur Gema Suasana (1949). Kumpulan sajaknya, Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, 1950). Chairil Anwar dianggap pelopor angkatan 45. Ia meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Hari kematiannya diperingati sebagai Hari Sastra di Indonesia.

sumber:

Puisi Lan Fang - Ghirah Gatha


Data buku kumpulan puisi

Judul : Ghirah Gatha
Penulis : Lan Fang (1970 – 2011)
Cetakan : I, 2011
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Beberapa pilihan puisi Lan Fang dalam Ghirah Gatha

Waktu

dari waktu ke waktu
aku kian tua

dari waktu ke waktu
cintaku tetap muda

dari waktu ke waktu
menunggu
nya


Bagai

aku menantikanmu bagai tetes tirta di pasir,
bagai kesunyataan hujan tanpa air, zikir tanpa akhir.

aku mencintaimu bagai laut,
bagai induk semua anak sungai, muara semua kabut.

aku merindukanmu bagai pengembara cakrawala,
: sedang kau bagaimana?



Sangat Bukan

apakah kau: angin yang melekat pada kaca pintu?
sangat bukan,
aku pintu, tempat syair menumpahkan ragu.

kalau begitu apakah kau: keraguan yang dipanah rindu?
sangat bukan,
aku rindu yang melayari waktu demi waktu

jadi apakah kau: waktu yang tersulut sumbu
sangat bukan,
aku sumbu bulan dari celah kelambu.


6 Sonet Bunga Tidur (6)

sudah berapa malam kau tak berkunjung. pasti kau sedang sibuk.
maka, mataku tak bertabir gula. rupanya kau meneropong bintang.
tolong, ambilkan satu saja untukku. biarkan yang lain, sayang.
sebab di plafon, para tikus berpesta sampai gaduh. gludak gluduk.

“kenapa tak menyukai mereka? maaf, bila tak berkenan,” kau selalu sopan.
aku hanya cemas : apakah tikus-tikus bisa dijadikan sonet yang rupawan?
mereka hanya kusir kereta labu Cinderella, pengerat kayu yang berisik sekali.
di mana akan kau sematkan sebiji bintang itu? di rambut atau di jantung hati?

telah kurangkai kembang setaman. sebab banyak rahasia yang kita simpan.
semua hanya untukmu. sebab bertambah malam mata harus semakin awas.
abrakadabra! ingin kumusnahkan kutuk itu agar kita tidak berbeda pikiran.
kini jangan marah bila kutarik empat larik. kau nafas yang tak akan kulepas.

sekarang aku (ingin) merebahi pundakmu. ciumlah mataku.
kelopak dan bulumataku. kau akan menemukan banyak sonet di situ.


Sebuah Pagi

pada sebuah pagi yang sumringah. burung-burung singgah
mematuki bebijian seperti memetik putik-putik puitik,
lalu mereka memeluk suluk untuk mewuwung suwung


Tangis Belibis

(1)

teduh, suara subuh.
sepi, bunyi tubuh.
gerimis mendenting hening
dan Kau begitu bening.

(2)

kepada kesepiankah kita berpulang?
Atau kita ingin kesepian itu datang?

di dalam kesepian, para malaikat menemani
bocah-bocah menari di atas ngangga1 malam. para
malaikat berjubah tembus cahaya. para
malaikat yang memberikan sepasang sayap ketika
bocah-bocah itu menginginkannya. para
malaikat yang memahkotai mereka
dengan mawar tak berduri, mahkota yang tak melukai.

“sekarang kami peri!” mereka melonjak-lonjak tak mau
pergi dari waktu kanak-kanak di mana langit selalu jingga.
apakah kita salah satu di antara mereka? tidak! kita hanya
anak-anak bisu yang lahir dari malam berbatu.

tiba-tiba sungai waktu berseru “lekas! kalian sudah
menua,” daun-daun berkemas, kering lalu lepas.
tetapi kau tak mengajakku bergegas.
(sungguh tidak kusangka ternyata usia tidak berbau)

kita pun terpasung pada palung terpanjang, tersepi.
sssttt..., puisi sedang berbunga, di sini.

(Ket. 1. bolak-balik saya menduga makna kata ini, apakah sebuah kata yang tak saya ketahui maknanya atau cuma salah cetak: antara nganga atau gangga. Akhirnya saya putuskan tetap ngangga, persis sama dengan di buku)

(3)

aku ini malam

tahukah kau kalau malam terbuat dari purnama
bundar yang memudar? ada perempuan berdada
asap yang menyerap pendar bintang. sepasang matanya
yang berasap juga mengirimkan pesan,
“mari bersulang di kaki rupang.”
itulah pesan yang belum mampu kueja. tetapi ia
tetap setia beranjali, bermudra, dan membakar dupa
untuk menjerat sekerat cahaya.

maka malam pun gelap, segelap aku. aku pun remuk,
seremuk asap. asap yang masih setia bermoksa.

(4)

suara subuh menjelma teduh. lantai begitu dingin.
tetapi gorden kamar diam saja, tidak bergeming.
kutajamkan telinga. ada Sesuatu sedang merayapi
dinding, cermin, meja rias, lemari, ranjang, lalu
menelusup pada setiap titik pori, mengakrabiku.

azan Jogya dibalut gerimis. tetapi di sini lampu
handphone berkedip-kedip: “silakan subuhan.”
kubalikkan tubuh ke kiri, ada jarak yang terlampaui.
aku gembira: “apakah kau bangun untuk Sesuatu?”

rasakan Sesuatu mengajak kita bercakap! bukan suara
tik tok jam dinding atau suara dengung AC. tetapi suara
Sesuatu dalam desir darah. aku sedang mengumpulkan
suara sebanyak-banyaknya. baik, kumpulkan juga isak
teratai di ujung subuh. jangan lupa!

(5)

seorang musafir menyiarkan syair, “oh, Roh, betapa aku
tersiksa puisi cinta. cinta yang terbakar bersamaMu.”

ketika itu ada yang berteriak dan ada yang tersumbat,
ada yang bergerak dan ada yang merambat, ada Badai
Cahaya, Hujan Cahaya, Wangi Cahaya, Cahaya di Atas
Cahaya “aum mani padme hum.” ketika itu ada
seekor belibis menangis.

sumber:

Puisi-puisi Lan Fang

Satu Sampai Enam

(1)
ada yang menenteng lampion, menunggumu. ”sebentar lagi festival musim semi.
tetapi belum ada yang mengirim salam.” tampak bunga-bunga mei hwa
berselaput salju palsu. rupanya semua musim sudah tidak jelas.
siapa yang telah memainkan mereka?
”ada dalangnya!” tambur terus ditabuh. barongsai tak tahu harus mengedipkan
mata ke sebelah mana. kalau begitu siapa wayangnya? ia mencermati mereka
yang dikatakan curang. putri Gurun Gobi, dayang istana Manchu atau
Durna berkartu dua? diamlah! menurutmu, aku salah bila berpikiran begitu.
kau masih juga belum pulang, masih mencangkul hutan, masih menggali gunung
”aku mencari singgasana bersepuh permata,” aku pun membenarkanmu. di antara
kita harus bersedia untuk tidak mempercakapkan benar dan salah. cukup mengerti. apakah kau juga menciptakan taman bunga seruni untuknya?
ia tetap menunggumu. ada gerimis yang tidak lebat tetapi telah membuat tanah
basah. tangannya ditangkupkan agar nyala lampion tidak padam walaupun
makin lemah. masih cukup benderang untuk membuka berapa banyak kartu yang
kita punya. bukankah kita juga kerap mendalang sekaligus mewayang?
(2)
setiap hari terasa aneh. dicoret-coretnya kertas, membayangkanmu,
membayangkan untuk melupakanmu. ck, betapa tak bisa.
tiba-tiba ia teringat keringat embun yang tumbuh di tubuh
sesloki sepi. diintipnya. kau terapung-apung di sana.
rupanya si penyair masih mabuk. pada sufi atau pada puisi? karena hennesy
atau karena sunyi? konon, kau tak boleh mabuk. tetapi kau tak pernah
melarangnya mabuk, bukan? aku selalu memikirkanmu. ada kata-kata
yang kian tertata.
maka terkutuklah siang dan malam yang semakin aneh itu. siang ada
di dada terang dan malam adalah rindu bagi para kekasih. sehingga
senja merapat, tak lagi misteri. semakin banyak yang ingin ditumpahkan.
tetapi kau seperti penyair itu, begitu pandai memampatkan perasaan.
di mana kau sembunyikan? apakah akan kau biarkan ia menyesal dengan
luar biasa? semalaman telah dipungutnya remah-remah rempah untuk
mencuri harummu, wangi bunga cengkeh. maka bersiaplah, sebentar lagi
ia luncurkan geletar kelakar liar yang gemetar. rasakan saja!
(3)
suara subuh menjelma teduh. lantai begitu dingin.
tetapi gorden kamar diam saja, tidak bergeming.
kutajamkan telinga. ada Sesuatu sedang merayapi
dinding, cermin, meja rias, lemari, ranjang, lalu
menelusup pada setiap titik pori, mengakrabiku.
adzan Jogja dibalut gerimis. tetapi di sini lampu
handphone berkedip-kedip: ”silakan subuhan.”
kubalikkan tubuh ke kiri, ada jarak yang terlampaui.
aku girang: ”apakah kau bangun untuk Sesuatu?”
rasakan Sesuatu mengajak kita bercakap! bukan suara
tik tok jam dinding atau suara dengung AC. tetapi suara
Sesuatu dalam desir darah. aku sedang mengumpulkan
suara sebanyak-banyaknya. baik, kumpulkan juga isak
teratai di ujung subuh. jangan lupa!
(4)
Arjuna merentang urat gendewa. ia memanah gendang angin,
tetabuhan langit yang dibidik dengan badik.
”akan kubekukan lidah matahari!”
mengapa Ekalaya tidak mengail pasir saja, kakanda?
aku cemas ibu jarinya dicederai butir kerikil. tolong,
jadikan aku serupa Drupadi yang tak mengikat rambut
sebelum Durna mati. bisakah? ia terlalu sakti.
”kenapa raden itu kau cermati dari hari ke hari, adinda?”
begitulah, berita kulanjut seperti kuurut huruf demi huruf,
seperti kau berkirim surat yang lambat terbalas.
rupanya tujuh belas sangat dekat dengan delapan belas.
itu saat yang tak bisa terlompati. ada angin bergulat dengan
gelombang. mendadak gelasku jatuh tetapi tak pecah.
jangan tinggi, jangan berbuih, jangan pasang, kakanda. jangan…
(5)
”apa yang kau bubuhkan pada helai malam, sri panggung?”
gincu atau anting? mari sini. maukah kau kusunting dengan
canting? maka kubungkus rapat mimpi yang kau tampilkan.
diam-diam telah kutakik namamu dengan rintik hujan.
tetapi yakinkah kau bahwa mimpi akan tetap mimpi?
ia tak pernah mendustai atau menipu tidur kita. percayalah,
pelupukku masih setengah tertutup juga setengah menyala.
di sana tak ada apa-apa, tak ada siapa-siapa. sepi jadi gelisah.
”peganglah aku,” tetapi aku memelukmu. jangan takut luput.
aku juga menciummu. apakah ini yang kau inginkan, bunga tidur?
menurutmu, mimpi tak perlu dikuatirkan, tak usah dipikirkan.
aku sering sekali memimpikanmu, entah.
kemudian beratus harum ratus membangunkanku. ada yang meletup.
aku kapuk yang pecah dari kulit buahnya. ah, jangan begitu.
ini hanya sedikit sakit. isyarat berpukat itu bukan siulan
daun-daun bambu. semoga saja.
(6)
segerombolan daun kering berputar seperti hujan menciptakan
selajur rajut yang kejar-mengejar. mataku berkerjap-kerjap
menghindari angin, yang menyapukan satu denyut, yang bertubi
memukul tubir bibir. lalu…
kau terus mengusahakan waktu. yang berjingkat dari: tiga puluh satu,
satu, dua, tiga, dan seterusnya. artinya biji-biji gerimis masih saling deras.
artinya baterai di jam dindingku masih memacu jarum-jarum hujan.
artinya terima kasih, saya selalu diingatkan. lalu…
kupercaya satu getar itu akan kita tutup sampai tetap satu seperti semula.
mereka bukan kisah yang tertunda. itu titik yang pernah kau amati
dengan cermat lalu kau sambar dengan cepat.


Tentang Lan Fang:
Go Lan Fang atau biasa dikenal dengan Lan Fang terlahir di Banjarmasin, 5 Maret 1970. Alumni Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Sejak sekolah dasar imajinasinya mulai berkembang dengan buku-buku dari Enid Blynton, Laura Ingals Wilder, atau sekadar majalah anak-anak, seperti Bobo dan Donal Bebek. Cerita pendek yang pertama dikirimnya: Catatan Yang Tertinggal langsung dimuat di majalah Anita Cemerlang pada tahun 1986. Langsung terlecut, pada periode 1986-1988, ia pun cukup banyak menulis cerpen remaja yang bertebaran di majalah-majalah remaja seperti Gadis, dan terutama Anita Cemerlang. Konon, kebanyakan cerpen yang tulisnya bernapaskan cinta dengan banyak pengaruh tulisan Kahlil Gibran. Lan Fang aktif berkesenian setelah di Surabaya. Ia meninggal di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura pada tanggal 25 Desember 2011 dalam usia 41 tahun. Ia meninggalkan tiga orang putra kembar yang masih berusia 13 tahun. Dua putra bernama Vajra Viria Husala dan Vajra Vidya Husala serta seorang putri bernama VajraYeshi Husala. Buku-buku yang telah diterbitkannya: Reinkarnasi (2003), Pai Yin (2004), Kembang Gunung Purei (2005), Laki-Laki yang Salah (2006), Perempuan Kembang Jepun (2006), Yang Liu (2006), Kota Tanpa Kelamin (2007), Lelakon (2007), Ciuman Di Bawah Hujan (2010), Sonata Musim Kelima (2012) & Kumpulan Puisi Ghirah Gatha (2012). Dua yang terakhir diterbitkan untuk mengenang Lan Fang.

http://www.jawapos.com/

Pintu Hatimu

Aku mencari pintu, yaa, pintu menuju hatimu, aku lelah jika menunggu, rinduku kian tak terbendung menahan perasaan kepadamu. Aku mencari pintu, pintu yang saat ku buka ada dirimu, cintamu, lalu ku kunci rapat-rapat biar hanya ada aku dan kamu. Aku mencari pintu, bukan untuk ku siggahi kemudian berlalu, aku mencari pintu dimana hatimu bersemayam disitu, bersamamu, meski pintu itu kian berkarat di makan waktu, aku selalu bersamamu.


Mendustai Karena Mencintai

Mempersilahkan ku pergi, sama saja kau menyuruhku mati. Aku mengatakan senang tak bersamamu lagi, namun, rembulan malam tiada henti, menertawai gelisahku yang mendustai hati. Sayang, aku bodoh, aku tak kokoh menyangga dinding cinta kita yang hampir roboh. Sayang, aku masih memanggilmu sayang, lirih ku bisikkan namamu di hening malam yang panjang. Sayang, semoga bahagia menyertaimu bersama orang yang beruntung memilikimu.


Hadiah Hujan

Saat langit memutih
ku tau engkau sedang bersembunyi
topeng mendung kau kenakan
ranting yang menunggu kau hujami rintikan
riuh, gemuruh petir menyambut pesta kedatangan

hujan, keindahanmu memang menawan
namun kami juga lelah tidur beralaskan kardus usang pinggir jalan

hujan,
jangan datang setiap hari
genanganmu kadang susah kami kuras kembali
banjir hadiahmu
rumah kami terendam keangkuhanmu




Selasa, 08 Januari 2013

Singkat Penuh Makna

Tidak banyak sejuk yang bisa ku hadirkan
Tak banyak pula perhargaan yang ku berikan
Hanya mampu ucapkan terimakasih
Setulus hati
Untuk semua yang pernah kau ciptakan
Bahagia, canda bersamamu membuat hari ceria
Semua berubah sejak kau hadir menyelipkan tawa
Aku tak menyesali kehadiranmu
Meski singkat
Atau perih yang pernah kau buat
Setidaknya, hati kita pernah melekat


Senin, 07 Januari 2013

Terlukis Dalam Gerimis

Keriuhan saat hujan
tumpukan gerimis membentuk genangan
ingatan
meski raga berjauhan
hujan selalu punya alasan untuk mendamaikan
kita
cinta
lewat aksara
hujan menjadi saksi rasa yang ada
aku masih menyimpannya


Penjara Sepi

Sepi menawan senyumku, memenjarakan bahagia ke lubang hampa, terjerat, susah payah aku berlari, bayang sepi tetap membayangi, mengejar hingga ujung mimpi.
Hening, teriakan hati tak lagi nyaring, kemana kuping-kuping yang mengaku peduli, semesta pun memaki.
Di lembaran malam, di sebuah ruang yang kunamakan tempat bersemayam, hitam pekat, saat hujan tiba-tiba saja lebat, aku berkuasa pada jeruji berkarat, aku sekarat.


Let's Be Grateful

Kau mengundang bosan dalam setiap keluhan
mengutuk kenyataan takkan membuatmu tenang
celah-celah yang kau buat dalam dimensi kehidupan
hanya membuatmu jauh dari kasih sayang Tuhan

So let's begrateful ^^



Bersemayam Pada Hitam

Pada engkau yang sedang menyesap kepahitan, yang sibuk meniupi asap keresahan. Kau himpun kata, menyusunnya meski terbata, tak juga reda, kau masih bertahan di bawah tarian sang hujan, basah kuyup kau coba tinggalkan kenangan. Kau adalah raja, dalam tahta hampa, tak mampu berontak meski hati menjerit kecewa. Lagi... kau tuang pahit dalam cawan kenyataan yang pelik, coba menerawang semesta yang acuh kepadamu, kau cemburu. Sisa dari masa lalu membuatmu bungkam, kini kau tenang, bersemayam dalam hitam yang kelam.